Oleh: M. Doni Koto, SH
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Bukittinggi)
*Pendahuluan*
Tanah pusaka tinggi adalah salah satu jenis tanah ulayat dalam masyarakat adat Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun dalam suatu kaum. Penguasaan tanah ini secara adat berada di tangan mamak kepala waris (pemimpin kaum), yang bertanggung jawab mengelola dan melindungi tanah tersebut demi kepentingan anak kemenakan. Namun, seiring dengan berkembangnya kebutuhan administratif dan legal formal dalam pertanahan, muncul urgensi untuk melakukan pensertifikatan tanah pusaka tinggi. Pertanyaannya: apakah tanah adat seperti ini bisa disertifikatkan atas nama mamak kepala waris kaum? Dan bagaimana kedudukan hukumnya?
*Kedudukan Tanah Pusaka Tinggi dalam Adat Minangkabau*
Dalam sistem matrilineal Minangkabau, tanah pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan karena merupakan warisan leluhur yang harus dipelihara untuk keberlangsungan generasi berikutnya. Kepemilikannya bersifat komunal dan tidak individual, serta dikelola oleh mamak kepala waris yang bertindak sebagai wali amanah.
Mamak kepala waris bertugas menjaga, menggunakan, dan mengatur pemanfaatan tanah ini berdasarkan musyawarah dengan anggota kaum. Oleh karena itu, mamak bukanlah pemilik pribadi, tetapi representasi kaum dalam hal pengelolaan tanah adat.
*Urgensi Pensertifikatan*
Pensertifikatan tanah pusaka tinggi biasanya diperlukan untuk:
1. Menghindari konflik antar-kaum atau dengan pihak luar
2. Menjaga bukti kepemilikan secara administratif
3. Mendapatkan perlindungan hukum terhadap klaim dari pihak ketiga
4. Keperluan pembangunan fasilitas umum atau kaum yang legalitasnya memerlukan dokumen pertanahan
Namun, pensertifikatan tanah pusaka tinggi harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip adat dan hukum negara secara seimbang.
*Dasar Hukum Pensertifikatan Tanah Adat*
Pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019, tanah ulayat masyarakat hukum adat bisa didaftarkan dan diberikan pengakuan sepanjang memenuhi unsur:
– Masih adanya masyarakat hukum adat
– Masih berlangsungnya sistem hukum adat
– Terdapat wilayah adat
– Ada pengakuan dari pemerintah daerah
*Prosedur Pensertifikatan Atas Nama Mamak Kepala Waris*
Jika tanah pusaka tinggi hendak didaftarkan, maka:
1. Pengajuan dilakukan oleh mamak kepala waris sebagai perwakilan kaum, bukan atas nama pribadi.
2. Harus dilampirkan surat keterangan dari lembaga adat atau nagari yang menyatakan tanah tersebut benar milik kaum dan pengelolaannya oleh mamak kepala waris.
3. Dilakukan pendataan dan pemetaan oleh Kantor Pertanahan.
4. Sertifikat yang dikeluarkan diperuntukkan atas nama “Kaum X” yang diwakili oleh Mamak Kepala Waris, bukan atas nama perseorangan.
*Risiko dan Tantangan*
Jika sertifikat dikeluarkan atas nama pribadi mamak, ada potensi tanah tersebut dijual secara pribadi dan keluar dari kepemilikan kaum.
Berpotensi menimbulkan konflik internal apabila tidak disepakati bersama oleh anggota kaum.
Perlu adanya pengawasan ketat dari lembaga adat dan peran aktif pemerintah daerah.
*Kesimpulan*
Pensertifikatan tanah pusaka tinggi atas nama mamak kepala waris kaum adalah langkah yang dapat ditempuh untuk menjaga keberlangsungan dan perlindungan hukum tanah adat, asalkan tetap berpijak pada nilai-nilai adat Minangkabau dan peraturan hukum negara. Kuncinya adalah kehati-hatian dalam tata cara pendaftaran, dengan tetap menempatkan kepentingan kaum di atas kepentingan individual.
*Saran*
Pemerintah daerah dan lembaga adat perlu bersinergi dalam membuat mekanisme yang baku dan tidak menimbulkan celah manipulasi, serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat adat mengenai tata cara dan risiko pensertifikatan tanah adat secara legal formal.